Tags
ASI, avent philips, breastpump, kiat menyapih, menyapih, menyapih anak, menyapih bayi, menyusui, sahabat ibu menyusui, sahabatibumenyusui, sapih, sukses menyapih, sukses menyapih anak, tips menyapih, weaning
Sejak awal menyusui, saya sudah menargetkan bahwa di usia dua tahun saya akan menyapih anak saya. Setelah dua tahun menyusui, tepat di ulang tahunnya yang kedua putri bungsu saya berhenti menyusu. Ya, alhamdulillah saya berhasil menyapih anak saya. Seperti menyusui, sukses menyapih anak tidak datang begitu saja. Butuh proses yang terkandung di dalamnya komitmen, ketegasan, keikhlasan yang kuat.
Berikut kiat dan trik sukses menyapih anak ala saya:
1. Tenggat waktu.
Tentukan tenggat waktu untuk menyapih. Misalnya ingin menyusui si kecil hingga dua tahun tepat. Tandai dengan jelas kapan hari dimana kita harus menyapih anak dan si kecil harus berhenti menyusui. Tepati dan taati.
Tenggat waktu saya adalah 24bulan. Sesuai Dalil Al-Quran surat Al Ahqaf ayat 15.
2. Komitmen.
Tegaskan pada diri sendiri dan tentunya si kecil bahwa waktu menyusui akan berakhir pada waktu yang telah ibu tentukan. Saat tenggat waktu menyapih anak tiba, tegaskan pada diri sendiri untuk tidak lagi menyusui si kecil, apapun yang terjadi.
Mungkin akan beberapa masalah saat menyapih anak. Seperti drama dari si kecil, pembengkakan pada payudara ibu, komentar-komentar kanan kiri, dan berbagai problema lain yang bisa mematahkan komitmen ibu dalam menyapih anak. Bahkan, mungkin segala masalah itu tak hanya berlangsung satu hari. Bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Jangan jadikan segala masalah itu sebagai alasan yang melemahkan komitmen ibu menyapih anak. Kecuali dalam kondisi penting tertentu, si kecil sakit misalnya. Kuatkan komitmen ibu dan hadapi segala masalah yang ada dengan tegas saat menyapih anak.
Penggalan Pengalaman: Saat menyapih anak pertama, dia menangis tiap malam selama tiga hari minta menyusu. Namun, tiap malam durasi menangisnya terus berkurang hingga akhirnya ia tak lagi minta menyusu. Saat menyapih anak kedua, payudara saya bengkak hingga badan meriang karena penumpukan produksi asi. Ingin rasanya meminta si kecil menyusu agar penderitaan saya berakhir. Tapi bila saya melakukan itu, mungkin hingga kini, saya belum berhasil menyapih anak saya.
She’s two and terrific. And ready to be weaned.
3. Komunikasi.
Sejak jauh-jauh hari, komunikasikan dengan anak bahwa waktu menyusui akan berakhir. Dan kita akan menyapih anak sesuai deadline yang kita tentukan. Bersikaplah asertif. Katakan dengan bahasa yang tegas, jelas dan lugas namun tetap dengan nada lembut. Selalu komunikasikan saat si kecil dalam kondisi nyaman sehingga ia mampu menyerap kata-kata bunda. Katakan secara terus menerus, setiap hari, hingga tiba saatnya menyapih anak bunda.
4. Bertahap
Menyapih anak butuh proses hingga si kecil (dan ibu) benar-benar siap untuk berhenti menyusu. Baik secara fisik maupun mental. Dengan menyapih anak secara bertahap, maka si kecil (dan ibu) tidak akan kaget dan kehilangan nikmatnya momen menyusu. Pun payudara ibu juga berisiko lebih rendah menjadi bengkak karena berkurangnya rangsangan hisapan bayi, otomatis produksi ASI ikut berkurang.
Tips: Kurangi frekuensi menyusu secara bertahap. Misalnya ibu ingin menyapih anak saat usia 24 bulan, maka sebulan sebelumnya kurangi menyusui jadi saat hanya sebelum tidur siang dan tidur malam. Kemudian dua minggu kemudian kurangi menjadi hanya sebelum tidur malam. Tentunya sambil terus komunikasikan bahwa nanti saat tenggat waktu yang telah ibu tentukan tiba, ibu akan menyapih anak ibu, masa menyusui akan berakhir dan si kecil tidak perlu menyusu lagi.
Penggalan Pengalaman: Saya nyaris melewatkan kiat ini saat menyapih anak bungsu saya. Saya pikir, biarlah dia menyusu sepuasnya. Toh, sebentar lagi saat-saat menyusui akan berakhir. Meski begitu, akhirnya saya tetap mengurangi frekuensi menyusui di dua minggu terakhir menjelang ulang tahunnya yang kedua. Saya akui, agak mendadak dan terlambat memang, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Mengurangi frekuensi menyusu cukup membantu kami berdua agar lebih siap secara mental menghadapi hari H penyapihan (tidak menyusu sama sekali). Sayangnya secara fisik, payudara saya belum siap menghadapi hari penyapihan total. Akibatnya seperti yang telah saya ceritakan di atas, salah satu payudara saya masih aktif memproduksi asi dan kemudian membengkak hingga hari kedua.
5. Pahami kebutuhan si kecil.
Saat masih bayi, si kecil sering menangis untuk mengungkapkan kebutuhannya. Entah itu haus, lapar, mengantuk, popoknya basah, atau bahkan hanya ingin bermain. Dalam proses menyapih anak, lakukan hal yang sama padanya saat ia mulai ingin menyusu. Apa sebenarnya kebutuhannya. Cari penyebabnya dan beri alternatif pemenuh kebutuhan selain menyusu. Haus kah? Atau mengantuk? Atau ingin buang air kecil? Atau hanya ingin bermanja-manja bersama bunda saja?
Tips: Saat mulai proses menyapih anak, sediakan air minum di dekat si kecil, terutama di kamar saat tidur malam. Bila si kecil terbangun dan merengek minta menyusu, mulai tawarkan air. Kondisi haus dan mengantuk sekaligus biasanya membuat anak tidak punya banyak tenaga dan pilihan selain menerima apa yang ada di hadapannya.
6. Dukungan Keluarga.
Mintalah dukungan dan keterlibatan anggota keluarga. Suami terutama. Sampaikan komitmen menyapih anak pada suami (dan seisi rumah bila perlu) agar bisa turut mendukung dan menjaga komitmen menyapih ini. Libatkan juga suami untuk terus mengingatkan dan mengkomunikasikan pada si kecil kalau masa menyusuinya akan segera berakhir.
Penggalan Pengalaman: Beberapa minggu sebelum saya menyapih anak bungsu saya, Kimi, suami dan kakak Kimi sudah aktif melakukan ‘propaganda’, “Kalau sudah ulang tahun (kedua), tetek stop…!!!”. Mereka berusaha menanamkan pemikiran bahwa, putri bungsu saya sudah besar dan tidak butuh ASI lagi saat usia dua tahun. Suami saya bahkan menawarkan diri untuk menidurkan Kimi, demi membiasakan agar Kimi mampu tidur sendiri tanpa menyusu. Ketika seluruh isi rumah mendukung komitmen kita, maka proses menyapih anak menjadi lebih mudah.
Seperti telah saya sebutkan di atas, menyapih anak (seperti juga menyusui) membutuhkan proses yang unik. Tiap ibu dan bayi mengalami beragam pengalaman berbeda. Namun, di antara sekian banyak pengalaman, ada beberapa kendala dan masalah yang kerap muncul. Di antaranya:
- Drama. Si kecil bisa saja merengek, labil, rewel saat ibu tak lagi memberinya ASI. Mungkin ia merasa diabaikan atau merasa haknya direnggut *lebay*. Jangan luluh dengan air mata atau gaya tingkah mereka. Ingat pada komitmen menyapih anak. Bersikaplah tegas namun tetap lembut. Tunjukkan lebih rasa kasih sayang pada mereka. Komunikasikan dengan hangat bahwa meski tanpa menyusui, ibu bisa tetap sayang dan perhatian pada mereka.
Tips: Peran ayah sangat dibutuhkan di sini. Mintalah bantuan suami mengambil alih bernegosiasi bila kesabaran atau kekuatan ibu menghadapi si kecil mulai di ambang batas. - Payudara Bengkak. Meski sudah mengurangi frekuensi menyusui, kadang payudara ibu tetap bengkak, terutama di hari-hari awal ibu menyapih total dan si kecil berhenti menyusu. Hal ini karena payudara masih aktif memproduksi ASI, akibat rangsangan hisapan bayi di hari sebelumnya.
Breastpump avent manual yang menyelamatkan saya dari nyerinya payudara bengkak setelah menyapih anak. Saya memompa ASI di tengah perjalanan Bandung-Jakarta.
Tips: Bila payudara mulai bengkak dan terasa mengganggu, keluarkan ASI dengan diperah atau dipompa. Tidak perlu sampai kosong. Cukup hingga ibu merasa lebih nyaman. Tidak perlu khawatir produksi ASI akan tetap bertambah bila dipompa. Rangsangan hisapan bayi berbeda dengan secanggih apapun pompa ASI. Selama ibu tidak kembali menyusui, produksi ASI lambat laun akan berkurang. Bila ibu merasa kurang enak badan (demam atau meriang) yang tidak tertahankan, ibu boleh mengkonsumsi paracetamol dengan dosis sesuai.
Semoga kiat-kiat di atas bisa membantu bunda yang sedang bersiap-siap menyapih anak tercinta. Semoga sukses, berhasil, lancar, dan dimudahkan Yang Maha Kuasa. Ammiiinn…